NAGA NURI / NANGA NUR


Naga nuri adalah sepenggal kata tentang sebuah tempat yang ada di kecamatan sape, dikisahkan disana adalah Tempat pertama atau labuhan pertama datangnya para ulama yang membawa cahaya (Islam). Naga nuri sebenarnya sebuah kata yang mengalami pergeseran kata. Karena awalnya kata ini sebenarnya adalah nanga nur.Nanga Nur sendiri disusun oleh dua kata dari dua bahasa yang berbeda.Kata pertama adalah "Nanga" (Sungai), nanga merupakan salah satu kata dalam bahasa bima yang berarti sungai.Kata kedua adalah "Nur" (Cahaya) yang merupakan kata dari bahasa arab yang dalam bahasa indonesia lebih dikenal dengan nama "cahaya"Kedua kata ini sebenarnya menunjukan tentang sebuah tempat/ daerah yang merupakan awal masuknya Islam. tempat itu (Nanga Nur) berada di kecamatan sape, tepatnya antara desa Sangia dan Gusu.KISAH Perjalanan Sang Sultan Abdul Khair.Alkisah, dulu saat kerajaan bima masih belum memeluk Islam dan masih menganut agama nenek moyang, hiduplah salah seorang putra pewaris kerajaan bima yang bernama La Kai. Singkat Cerita, salah seorang paman dari La Kai....

Menjelajahi wilayah Nanga Nur memang cukup melelahkan. Tapi ketika mencapai puncaknya, spontanku lafazkan  Allahhu Akbar dan Subhanallah. Maha Besar dan Maha Suci Allah yang telah menciptakan pesona alam di selat Sape ini. Bukit Nanga Nur berjarak sekitar 3 km dari Tempat Pelelangan Ikan Sape-Bima. Sebelum mendaki, saya melewati 3 mata air bekas telaga yang oleh warga sekitar dikenal dengan Nanga Nur (Bima, Nanga= Telaga, Nur = Cahaya). Jadi Nanga Nur adalah Telaga Cahaya yang dibuat oleh para Mubaliq yang menyiarkan agama Islam di Bima. Karena pada zaman dulu Islam masuk di Bima melalui Sape pada sekitar Abad ke 16 dan 17.
Di atas bukit Nanga Nur inilah tempat peristirahatan terakhir dari dua ulama besar dari Pagaruyung Sumatera Barat yang bernama Datuk Di Banda dan Datuk Di Tiro yang diutus oleh Sultan Gowa pada waktu itu untuk menyiarkan agama Islam di Tanah Bima. Pintu masuk mereka adalah melalui Sape yaitu di Nanga Nur. Menurut penuturan Abidin penjaga Makam ini, dulu di Nanga Nur adalah Pelabuhan Alam yang terlindung dari angin musim dan badai. Karena letaknya sangat strategis dan landai di kaki bukit-bukit di sebelah barat Pelabuhan Sape sekarang.Dalam Roman Sejarah Kembalinya Sang Putera Mahkota yang ditulis AlanMalingi, bahwa para mubaliq itu berlabuh di Nanga Nur untuk berdakwah sambil berdagang. Pada perkembangan selanjutnya mereka mendirikan Masjid Pertama di kompleks kampong Sigi Sape. Lalu mereka menemui Putera Mahkota La Ka’i di tempat persembunyian di puncak Kalodu untuk menyampaikan surat dari Sultan Gowa dan beberapa cindera mata. Isi surat tersebut memberitahukan bahwa Raja Gowa beserta seluruh rakyatnya telah memeluk Islam dan mengajak Putera Mahkota La Ka’i untuk memeluk Islam. Lalu La Ka’i bersama seluruh pengikutnya berikrar memeluk Islam dan mengangkat sumpah setia yang dikenal dengan sumpah Darah Daging dengan mengiris jari mereka dan meminum darah untuk memeluk Islam dan mengislamkan rakyat Bima. Tempat sumpah setia itu dikenal dengan Wadu Parapi ( Batu Parapi) yang saat ini berada di bendungan Parapi Desa Parangina kecamatan Sape ( Sayang kondisinya memprhatinkan dan tidak terawat). Setelah memeluk Islam La Ka’i berganti nama menjadi Abdul Kahir dan kuburannya di bukit Dana Taraha sekarang. Setelah Wafat bergelar Rumata Ma Bata Wadu ( Tuanku yang bersumpah Di Atas Batu).Merekam jejak Islam di Bima  terutama di wilayah Sape tentu tidak saja di Nanga Nur. Di Sape dan Lambu terdapat banyak peninggalan Islam seperti Wadu Sura atau Batu Bersurat di Desa Sari Kecamatan Sape yang bertuliskan huruf Arab Melayu dan saying sekali tidak bias terbaca karena termakan usia. Di kecamatan Lambu terdapat Temba Romba yaitu sebuah sumur yang konon dibuat oleh para mubaliq itu dengan tongkatnya dan sumur ini tetap mengalir sepanjang tahun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita rakyat Sape, Bima-NTB Tabe Bangkolo

GUNUNG TAMBORA