SEJARAH LETUSAN GUNUNG
TAMBORA TAHUN 1815
DAMPAK LOKAL DAN GLOBAL
Helius
Syamsuddin
Historiografi Indonesia masih jarang
kalau dapat dikatakan belum mengenal
perspektif baru yang mengangkat peristiwa-peristiwa bencana alam seperti
gempa bumi, banjir, letusan gunung berapi dsb. dengan segala aspek dampaknya
bagi kehidupan manusia dan lingkungannya ke dalam suatu kajian yang serius.
Tema-tema sejarah lingkungan (eco-history, atau history of the
environment) (Peter Burke, ed. 1991:1), atau sejarah iklim (history of climate) (http://www.netlexikon.akademie.de/Year-Without-A-Summer.html,
02-01-2005) seperti yang sudah dikenal dalam historiografi-historiografi Barat
rupanya belum lazim bagi kita. Peristiwa terdahsyat terbaru gempa di dasar
Samudra Hindia disusul dengan terjangan gelombang tsunami
yang membuat Aceh, Sumatra Utara dan beberapa negara Asia dan Afrika lain yang
berbatasan pantai dengan Samudra Hindia porak-poranda pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu akan
menjadi topik kajian pada masa-masa akan datang. Bukan saja peristiwanya (event)
sendiri yang akan disebut-sebut tetapi analisis dampak-dampak lingkungan,
sosial-budaya, psikologis, demografis, ekonomis, politik dsb. dalam jangka
pendek, menengah, dan panjang akan menjadi objek kajian
interdisiplin/multidisiplin menarik bagi para peneliti ilmu-ilmu sosial,
humaniora, dan/atau ilmu-ilmu alam. Dengan menggunakan bahasa superlatif, “Malapetaka
Ahad” karena tsunami yang lalu merupakan bencana terbesar tercatat
dalam sejarah umat manusia. Puluhan bahkan ratusan ribu jiwa manusia
menjadi korbannya. Belum lagi sarana dan
prasarananya luluh-lantak dan rusak binasa. Dahulu di bangku SMA dipelajari
dalam sejarah Indonesia, di Jawa, misalnya, malapetaka yang ditimbulkan oleh
letusan dahsyat gunung Merapi di Jawa Tengah telah memaksa pusat pemerintahan
Mataram (kuna, Hindu) pindah dari Jawa tengah ke Jawa timur pada abad ke-10.
Peristiwa yang dianggap pralaya (=kehancuran dunia pada akhir masa Kaliyuga)
ini sesuai dengan kepercayaan kosmogonis Jawa bahwa kerajaan kuna harus diganti
dan dibangun kerajaan baru, termasuk dinastinya, seperti yang terjadi dengan Pu Sindok yang menjadi
pendiri dinasti Isana. (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto,
1984: 157; R. Soekmono, 1984: 49). Dalam tulisan ini saya mencoba mengungkap
salah satu peristiwa bencana alam yang hampir serupa yaitu letusan gunung
Tambora di pulau Sumbawa tahun 1815 dengan dampaknya bagi sejarah lokal dan
global, serta inspirasi-inspirasi yang muncul menyertainya.
Laporan resmi
Th. S. Raffles
Sebelum gunung
berapi Tambora meletus di pulau Sumbawa terdapat enam unit politik berupa
kerajaan-kerajaan Islam: Sumbawa, Dompu, Bima dan di lereng-lereng barat,
utara, dan tenggara gunung Tambora terdapat [Pa]Pekat, Tambora dan Sanggar. Gunung
Tambora mengkangkangi ketiga kerajaan terakhir ini. Letak gunung di punuk pulau
karena jazirah pulau Sumbawa seperti onta yang sedang mendekam.
Tahun 1815
cukup penting dalam sejarah Indonesia karena masih berada pada masa transisi (interregnum)
pemerintahan Inggris di bawah Letnan Gubernur Th. S. Raffles ke pemerintahan
Hindia-Belanda. Laporan tentang gunung Tambora yang meletus justru terjadi
ketika Inggris dalam proses mundur dari Indonesia.
Sumber
pertama sejaman dengan peristiwa letusan gunung Tambora berasal dari laporan
resmi Letnan Gubernur Th. S. Raffles yang menulis di Batavia September 1815, “Narrative
of the Effects of the Eruption from the Tomboro Mountain, In the Island of
Sumbawa, on the 11th and 12th of April 1815”
dalam VBG, VIII Deel, 1816, hlm.
1-25. Artikel ini sebagai rangkuman semua laporan para residennya dari berbagai
distrik yang masuk segera setelah peristiwa terjadi. Para pejabat itu dianggap
sebagai saksi-mata dari berbagai tempat dan kepulauan yang terbentang antara
kepulauan Maluku sampai Sumatra, termasuk Jawa, Bali, Sulawesi, dan dari pulau
Sumbawa sendiri. (Belakangan diketahui juga termasuk Kalimantan yang ketika itu
masih disebut Borneo, http://en.wikipedia.org/wiki/Tambora,
29-04-2004)
Menurut laporan yang dibacakan Raffles, letusan
pertama tanggal 5 April 1815 kemudian disusul oleh letusan-letusan pada
hari-hari berikutnya terdengar di berbagai penjuru angin. Semula diduga di
Jawa, Sumtra, Sulawesi dan kepulauan Maluku
sebagai letusan-letusan meriam. Oleh sebab itu dari Yogyakarta dikirim suatu detasemen pasukan karena diduga
post terdekat diserang, atau di pantai Jawa dua kapal dikirim mencari kapal
kalau-kalau ada yang mengalami kecelakaan. Di Sumatra (Bengkulu) diduga Fort
Marlborough diserang. Di Makassar diduga ada serangan bajak laut dari arah laut
selatan [Laut Flores] sehingga pemerintah setempat mengirim satu detasemen
pasukan dengan kapal perang untuk mengejarnya. Di Ternate resident mengirim
kapal untuk memeriksa kapal karam di lepas pantai. Lalu dugaan beralih ke
gunung berapi Merapi, Kelud atau Bromo ketika pada hari-hari berikutnya
letusan-letusan terus berlanjut yang
disertai curah hujan abu lebat dan membuat siang gelap gulita pada beberapa
tempat di Jawa. Pada malam tanggal 10
April ledakan lebih keras dan sering sehingga terdengar sampai di Ceribon dan
daerah sebelah timurnya. Ledakan-ledakannya berkali-kali mengguncang bumi dan
laut. Hari berubah gelap dan hujan debu semakin kerap terutama dialami oleh
Solo dan Rembang. Hujan abu serupa turun
di Bali, Sulawesi, Maluku, apalagi di pulau Sumbawa sendiri. Ledakan lebih
dahsyat lagi terjadi sepanjang tanggal 11 April disusul dengan gelap gulita
sepanjang malam dan keesokan harinya. Di Solo pada jam 4 sore benda-benda tidak
lagi dapat dilihat pada jarak 300 yard, demikian pula Gersik dan
distrik-distrik sebelah timurnya. Di Banyuwangi abu setebal delapan inci. Di
Bali semula orang menyangka gunung berapi “Carang Assam” [sic! Gunung Agung]
yang meletus dan penduduk menghubung-hubungkannya dengan peristiwa perebutan
tahta dua bersaudara raja Buleleng yang berakhir dengan kematian salah seorang
di antaranya atas perintah saudaranya. Singkatnya, “all reports concur in
stating that so violent and extensive an Eruption has not happened within the
memory of the oldest inhabitants, nor within tradition.” (Raffles, 1816: 1-9) .
Di
antara sekian banyak letusan, ada dua letusan yang dianggap paling dahsyat
yaitu tanggal 10 April 1815: …“on the night of the 10th the
explosions became truly tremendous, frequently shaking the Earth and Sea
violently” dan 11 April 1815: …On the night of the 11th the
explosions … have been most terrific…” (Raffles, 1816:8; 16-17).
Bagi
lokal pulau Sumbawa sendiri laporan diperoleh dari komandan kapal penjelajah Benares yang berangkat dari Makassar tanggal 13 April
dan tiba di Sumbawa tanggal 18 April dan surat dari letnan Owen Philips yang
ditulis di Bima tanggal 23 April. Philips datang ke Sumbawa atas perintah
Letnan Gubernur Raffles untuk membawa bantuan beras bagi penduduk pulau.
Komandan kapal melaporkan ketika mendekati pantai Sumbawa, mereka temukan
sejumlah besar batu apung berwarna arang mengambang di laut dengan ketebalan
beberapa inci, begitu pula batang-batang kayu yang terbakar dan tercabik
seperti kena sambar petir. Ketika berlayar memasuki teluk Bima, kapal
menghadapi kesulitan tehalang oleh sejumlah besar arang batu apung dan
pahon-pohon kayu yang mengambang. Ketika kapal berlabuh, mereka dapati kapal
penjelajah Ternate yang sudah beberapa bulan di Bima, begitu pula
sejumlah perahu besar dan kecil ikut terdampar jauh dari pantai disapu angin
dan gelombang yang muncul akibat gunung meletus. Rumah residen dan penduduk
kota Bima atap-atapnya rubuh tidak bisa lagi dihuni karena dibebani oleh abu
gunung berapi. Ketika pelayaran kemudian dilanjutkan ke arah gunung Tambora,
dari jarak enam mil dari pantai tidak kelihatan puncak gunung karena tertutup
oleh awan-awan asap dan abu. Pada lereng-lereng gunung tampak masih menyala dan
mengalir lahar-lahar merah dan di beberapa tempat sudah sampai ke laut. (Raffles,
1816:15-19).
Surat
Owen Philip menyebutkan bahwa ketika menjelajah ke arah barat pulau, terutama
sebagian Bima dan hampir seluruh Dompu, ia temukan “…extreme misey to which
the inhabitants have been reduced is shocking to behold—there were still on the
road side the remains of several
corpses…the Villages almost entirely deserted—and the houses fallen down—the
surviving inhabitants having dispersed in search of food.” (Raffles,
1816:21-22). Selanjutnya ketika ia menggambarkan kerajaan-kerajaan yang
tertimpa oleh bencana gunung itu, Philips menulis:
In Dompu, the
sole subsistence of the inhabitants for some time past has been the heads of
different species of palm, and the stalks of the papaya and plantain.
Since the
Eruption, a violent Diarrhea has prevailed in Bima, Dompu, and Sangar
[Sanggar], which has carried off a great number of people; it is supposed by
the Natives to be caused by drinking water, which has been impregnated with the
ashes, and horses have also died in great numbers from a similar complaint.
(Raffles, 1816:21-22).
Ketika
berada di Dompu, Philips bertemu dengan raja Sanggar yang datang menyelamatkan
diri. Dari tiga kerajaan yang berada di kaki gunung Tambora, ia satu-satunya
raja yang berhasil selamat dari bencana itu. Dari raja inilah Philips
memperoleh berita saksi mata pertama tentang bencana yang menimpa seluruh pulau
yang menjadi dasar surat dalam laporannya. Karena terjadi kelaparan salah
seorang putri raja Sanggar meninggal.
Sebagai sumbangan Philips menyerahkan tiga koyang beras. (Raffles, 1816: 22).
Akibat letusan dan dampaknya
bagi pulau Sumbawa
Para
pakar vulkanologi, geologi, cuaca dan/atau musim dari Barat sampai pada awal
abad ke-21 ini masih terus menulis tentang dampak letusan gunung Tambora yang
fenomenal dan garagantuan. Sejarah mencatat bahwa letusan gunung Tambora tahun
1815 adalah yang terdahsyat di Indonesia kalau bukan di seluruh dunia. “…the
1815 Tambora eruption, the largest in historical time.” (Stewart, 1820; Zollinger,
1855; Crawfurd, 1856; Stothers, 1984; Sigurdsson and Carey, 1987). “The paroxysmal eruption of Mt. Tambora on the island of
Sumbawa in April 1815…having triggered a world wide historic event…” (Anthony Tully, http://www.indodigest.com. 29-04-2004). “A phenomenon occurred in April 1815 with the cataclysmic eruption
of Tambora Volcano in Indonesia, the most powerful eruption in recorded
history.” (http://vulcan.wr.usgs.gov/Volcanoes/Indonesia/description_tambora_1815_eruption.html.,
29-04-2004). “On April 10, 1815, Mount Tambora, a volcano 13,000 feet high,
erupted and sent 12 cubic miles of rock into the sky taking 4,000 feet off
the top of the mountain, leaving a crater three miles wide. It was the largest
explosion in the recorded history of mankind.” ((KihmWinship, http://home.earthlink.net/~ggghostie/coldsummer.html.,
30-03-2004)
Mengenai
luas jangkauan dan kerusakan ditimbulkannya ditulis demikian:
The concussions
produced by its explosions were felt at a distance of a thousand miles (1600km)
all round; and their sound is said to have been heard even at so great a
distance as seventeen hundred miles (2700km). In Java the day was darkened by
clouds of ashes,
thrown from the mountain to that great distance (three hundred miles (500km)),
and the houses, streets, and fields, were covered to the depth of several
inches with the ashes that fell from the air. So great was the quantity of
ashes ejected, that the roofs of houses forty miles (65km) distant from the
volcano were broken in by their weight. The effects of the eruption extended
even to the western coasts of Sumatra, where masses of pumice
were seen floating on the surface of the sea, several feet in thickness and
many miles in extent.
Bagi pulau Sumbawa sendiri ini
merupakan malapetaka terbesar. Dua unit politik
yang terletak di lereng-lerengnya sirna tertimbun lahar bersama raja dan
seluruh rakyatnya yaitu kerajaan-kerajaan [Pa]Pekat dan Tambora. Jejak-jejak
dua kerajaan ini diketahui keberadaannya hanya dari arsip-arsip VOC berdasarkan
kontrak-kontrak yang mereka buat dengan Kompeni selama abad ke-17-18. Empat
kerajaan lagi yang tertinggal yaitu Bima, Dompu, Sanggar dan Sumbawa di pulau
tidak luput dari bencana. Penduduknya berkurang, baik langsung karena letusan,
kelaparan maupun karena eksodus ke lain-lain pulau. (H. Zollinger, 1850; C.
Lekkerkerker, 1933).
H. Zollinger yang berkunjung ke
pulau Sumbawa tahun 1847 (1850: 151) mencatat korban jiwa akibat letusan Tambora
1815:
Papekat
|
2000 jiwa
|
Tambora
|
6000 jiwa
|
Sanggar
|
1100 jiwa
|
Dompo
|
1000 jiwa
|
Total
|
10.100 jiwa
|
Kemudian pada halaman yang sama ia mencatat secara
keseluruhan:
[Kerajaan]
|
Segera setelah
meletus
|
Menyusul karena
kelaparan dan penyakit
|
Mengungsi
[meninggalkan
negeri]
|
Papekat
|
2.000 jiwa
|
---
|
---
|
Tambora
|
6.000 jiwa
|
---
|
---
|
Sanggar
|
1.100 jiwa (½)
|
825 ( 3/8)
|
275 (1/8)
|
Dompo
|
1.000 jiwa (1/10)
|
4.000 (4/10)
|
3.000 (3/10)
|
Sumbawa
|
---
|
18.000 (1/3)
|
18.000 (1/3)
|
Bima
|
---
|
15.000 (1/4)
|
15.000 (1/4)
|
Total
|
10.000
|
37.825
|
36.275
|
Kesimpulan:
Meninggal
|
47.925 jiwa
|
Meninggalkan negeri (mengungsi)
|
36.200 jiwa
|
Total [korban] penduduk
|
84.200 jiwa
|
Hampir sembilan dasawarsa kemudian C. Lekkerkerker
mencatat ulang:
JUMLAH KORBAN
LETUSAN TAMBORA
1815
Jumlah jiwa di
onderafdeling
|
Sumbawa
|
Bima
|
Jumlah
seluruh
|
Sebelum letusan 1815
Sesudah meletus 1815
Sensus penduduk (Volkstelling)
November 1920
Sensus penduduk (Volkstelling) Oktober 1930
|
54.000
18.000
94.000
115.000
|
80.000
36.000
152.000
200.000
|
134.000
54.000
246.000
316.000
|
Sumber: C. Lekkerkerker, “Enkele
Nieuwe Gegevens Over Soembawa”. TNAG. 1933, hlm. 73-81.
KORBAN-KORBAN
LETUSAN TAMBORA 1815
Kerajaan-
Kerajaan;
Pulau-pulau
|
Tewas pada
saat meletus
|
|
Meninggal karena
lapar
& sakit
|
|
Mengungsi atau
dijual ke Jawa, Sulawesi Selatan,
Ambon, Banda
|
|
|
Jumlah
|
%
|
Jumlah
|
%
|
Jumlah
|
%
|
Papekat
(Lereng Selatan &
Barat Daya)
Tambora
(Lereng
Utara & Timur Laut)
Sanggar
(sebelah Tenggara Tambora).
Dompu
(sebelah Tenggara Sanggar).
Sumbawa
Bima
Seluruh
Pulau Sumbawa
Pulau Lombok
|
2000
6000
1100
1000
-
-
10.100
-
-
|
100
100
50
10
-
-
7½
-
-
|
-
-
825
4000
18.000
15.000
37.825
10.000
-
|
-
-
37½
40
33
25
28
5
-
|
-
-
275
3000
18.000
15.000
36.275
-
-
|
-
-
12½
30
33
25
27
-
-
|
Sumber: C. Lekkerkerker, “Enkele
Nieuwe Gegevens Over Soembawa”. TNAG. 1933, hlm. 73-81.
Memang
memerlukan waktu lama untuk bangkit kembali setelah malapetaka itu.
Kerajaan-kerajaan Dompu, Bima, Sanggar dan Sumbawa harus menggeliat untuk
bangkit kembali dengan sisa-sisa rakyat, aparat pemerintahan yang masih hidup,
sumber-sumber alam yang rusak binasa, jangan dikatakan lagi sumber finasial
yang sudah ke titik nadir. (Raffles, 1816:16-17; http://en.wikipedia.org/wiki/Tambora.,
29-04-2004)
Dua
dampak penting jangka panjang setelah letusan itu ialah perubahan
teritorial dan sosiologis-demografis bagi pulau Sumbawa. Setelah Tambora
meletus, terbentuk “daerah-daerah tidak bertuan” (idle lands) di
wilayah-wilayah bekas kerajaan [Pa]Pekat dan kerajaan Tambora.
Perbatasan-perbatasan antara Dompu dan Bima menjadi tidak jelas. Khusus untuk
Dompu, setelah melalui suatu proses yang cukup lama, akhirnya Belanda karena
merasa diri sebagai “pemilik” Hindia-Belanda, melalui kontrak dengan Sultan
Dompu, Muhamad Sirajuddin tanggal 31 Desember 1905 mengakui dan menetapkan:
Het landschap
Dompo is samengesteld uit vroeger gelijknamige rijk bestaande uit de dessa’s
Dompo, Kempo, Kawangko, Wonggo, Kilo, Hoesoe [Hu’u], Daha, Adu en Ranggo.
Waaraan na de groote uitbarsting van den vulkan Tambora het toen totaal
ontvolkte landschap Pekat toegevoegd. Bovendien behooren daaraan de
navolgende eilanden: Kawangko, Poeloe-Poeloe [Pulau Pudu], Poeloe [Pulau] Sora
en [Pulau] Satonda en Poeloe [Pulau] Rate. (Overeenkomsten met de
Zelfbesturen in de Buitengewesten., 1929: 476)
Jadi
daerah kerajaan Dompu dan Bima sebelum dan sesudah meletus gunung
Tambora sangat berbeda. Sebelum Tambora meletus, wilayah kerajaan Dompu
relatif “kecil” karena masih terdapat lima kerajaan lain seperti: Sumbawa,
Bima, Papekat, Tambora, Sanggar. Setelah Tambora meletus, dalam perjalanan
waktu kerajaan Dompu mendapat tambahan wilayah yaitu bekas seluruh
kerajaan Papekat (juga ada bagian-bagian tertentu dari kerajaan Tambora dan
mungkin Sanggar). Wilayah itulah yang menjadi wilayah Dompu sampai sekarang.
Begitu pula Bima, pada tahun 1920an karena kerajaan Sanggar tidak ada lagi yang
bisa melanjutkan pemerintahannya lalu dimasukkan ke dalam wilayah kerajaan
Bima. Oleh sebab itu, ada yang menganggap letusan itu sebagai “Rakhmat Tuhan
Tersembunyi” (blessing in disguise) bagi kedua kerajaan itu. Jika tidak
ada letusan dan/atau malapetaka Tambora tahun 1815, mungkin saja di pulau
Sumbawa wilayah Dompu dan Bima masih “kecil” karena masih tetap ada empat
kerajaan lain. Letusan gunung Tambora tahun 1815 merupakan garis pemisah yang
drastis dan tajam bagi sejarah lokal di pulau Sumbawa, garis pemisah antara sebelum
dan sesudah letusan.
Singkatnya
terjadi perubahan peta politik dan teritorial di pulau Sumbawa sebagai berikut:
Wilayah kerajaan-kerajaan Pulau Sumbawa sebelum Tambora
meletus
|
Wilayah kerajaan-kerajaan Pulau Sumbawa setelah Tambora
meletus
|
Dompu
|
Dompu (+ Papekat + sebagian Tambora)
|
Bima
|
Bima (+ Sanggar)
|
Sumbawa
|
Sumbawa
|
Sanggar
|
---
|
(Pa)pekat
|
---
|
Tambora
|
---
|
Dampak lain
dari letusan Tambora, ialah dari segi demorafis-sosiologis. Karena malapetaka
letusan Tambora, Dompu sangat kekurangan penduduk. Dalam perjalanan waktu
puluhan bahkan seratusan tahun kemudian Dompu terpaksa menerima “migrasi”
penduduk dari kerajaan sekitarnya, khususnya dari Bima. Terjadi interkasi yang
relatif intensif antara penduduk Dompu dan penduduk Bima. Orang-orang Bima
datang menetap di Dompu (Zollinger, 1850: 143). Terbentuklah
komunitas-komunitas Bima di Dompu seperti yang lambat-laun kemudian akhirnya
menjadi orang-orang Dompu. “Sebab itu atas persetudjuan sultan Dompu dan Bima
didatangkan rakjat kolonisasi (pembojong) dari Bima dengan sjarat rakjat itu
mendjadi rakjat keradjaan Dompu. Karena itu bertambah djumlah kampung dan djiwa
di Dompu: olonduru, olobaka, Montabaka, Rasana’ebaka, elobaka, untju dll.”
Ketika
digambarkan tentang malapetaka yang menimpa Bima dan Dompu, Tully yang mengutip
laporan Raffles menulis demikian: “The blanket of
ashes was so heavy that they collapsed the roofs of the Resident's and many
other dwellings in Bima and rendered them uninhabitable. The Dompu
Palace at Dora [Doro] Bata was also buried with ash.” (Tully. http://www.indodigest.com.
29-04-2004). Keterangan terakhir ini memberikan inferensi mengapa istana Dompu
yang dahulu semula berada di karena tertimbun abu dan tidak bisa lagi didiami lalu
ditinggalkan. Agaknya dahulu
merupakan sebuah situs sejarah penting—mungkin
pra-Islam--yaitu istana tua (asi ntoi) yang letaknya di selatan Sori
Na’e [Sungai Besar] yang kemudian dipindahkan ke sebelah utara sungai. Di
sini didirikan istana baru (asi ). (Letaknya di situs Mesjid Raya Dompu sekarang).
Letusan Tamboralah yang telah “memaksa”
ini semua terjadi, perpindahan istana lama ke istana baru. Meskipun tidak
seperti di Jawa pusat pemerintahan pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur karena letusan Merapi, di Dompu pusat
pemerintahan pindah dari selatan Sori Na’e ke sebelah utara Sori Na’e
karena letusan Tambora (sic!).
Dampak Global
Menarik
untuk disimak artikel yang telah ditulis oleh Dr. Keith C. Heidorn, seorang pakar
cuaca Amerika, “Weather Events. Eighteen
Hundred and Froze To Death. The Infamous "Year Without
A Summer" berdasarkan berita surat-surat kabar setempat dan semasa (1816)
di Amerika Serikat dan Kanada, seperti Advertiser dari Albany, Gazette
dari Quebec, North Star dari Danville, Vermont,: New Hampshire
Patriot, Halifax, Nova Scotia, dan Weekly Chronicele; catatan-catatan
harian (diary) antara lain dari David Thomas, Travels through the Western
Country in the Summer of 1816, dari sejumlah jaringan stasion-stasion
meterologi yang mencatat kondisi harian tahun 1816 (ditulis tahun 2000 yang
diperbaharui lagi tahun 2004).
Heidorn
menulis dengan membandingkan, menyebut dampak dan menjadi penyebab bencana itu
semua:
dingin musim-musim panas antara tahun 1811 sampai 1817,
tahun 1816 telah ditulis dalam annals
sejarah New England dengan julukan buruk sebagai "The Year There
Was No Summer," "Poverty Year" dan "Eighteen
Hundred and Froze to Death." Tahun itu dimulai dengan winter yang
nyaman dan kering. Musim bunga datang terlambat dan melanjut kering. Akan
tetapi perjalanan musim dari akhir musim bunga sampai awal musim gugur, disela
oleh serangkaian gelombang-gelombang dingin yang merusak yang benar-benar
menghancurkan tanaman-tanaman sehingga mengurangi persediaan bahan makanan. Di
bagian wilayah tengah dan utara New England, musim panas hanya mempunyai dua
periode tanpa embun es atau temperatur yang hampir beku. Salju yang menyebar
luas turun pada bulan Juni. Akibatnya, jagung tidak sampai masak, dan jerami,
buah-buahan, dan sayur-sayuran sangat
berkurang dalam kuatitas dan kualitasnya…. Fakta-fakta hidup meteorologi telah
disampaikan. Periode Maret sampai September ditandai oleh serangkaian
invasi-invasi yang kuat dan sering udara artik yang kering melintasi New
England. Jika gerak massa udara artik melalui daerah ini biasa pada iklim-iklim
lain, penampilan mereka dalam musim panas sedingin dan sesering tahun 1816
adalah benar-benar luar biasa. Pertanyaan timbul, mengapa? Berbagai teori telah
dikemukakan. Yang paling mungkin disebabkan oleh dampak gunung berapi. Para
pendukung [teori ini] mencatat ada sejumlah letusan-letusan besar mendahului
1816: Soufriére dan St. Vincent tahun 1812: Mayon dan Luzon di Filipina selama
tahun 1814; Tambora di Indonesia selama tahun 1815. Teori vulkanik tentang
pengaruh iklim menghubungkan aktivitas vulkanis dengan berkurangnya temperatur
karena bertambahnya refleksi radiasi solar (matahari) dari debu vulkanis yang
terlempar dan terperangkap jauh tinggi di atmosfer. Letusan Tambora
diperkirakan yang terbesar dalam sejarah. Ledakannya diyakini telah mengangkat
150 sampai 180 kubik kilometer material ke dalam atmosfer. Sebagai
perbandingan, letusan buruk Krakatau 1883 melepaskan hanya 20 kubik kilometer material ke udara, dan itu
berdampak pada matahari terbenam selam beberapa tahun sesudahnya. (Heidorn, http://www.islandnet.com/~see/weather/history/1816.htm,
02-01-2005)
Selanjutnya
tulisannya ditutup dengan pengaruhnya ke belahan bumi lain,
….
Tahun
1816 juga luar biasa dinginnya di mana-mana. Laporan-laporan dari Eropa utara
menunjukkan dampak yang sama atas tanaman dan manusia, pada saat benua itu itu
baru saja muncul dari kekacauan Perang-perang Napoleon (Napoleonic Wars). Cuaca luar biasa itu
menyebabkan terjadi riot di Perancis yang mengguncangkan pemerintahan
monarki konstitusional dari Louis XVIII dan Talleyrand. Sejumlah sejarawan
percaya bahwa bahaya kelaparan yang mulai pada yahun 1816 menciptakan
kondisi-kondisi yang kondusif bagi epidemi tifus yang telah membunuh jutaan manusia
tahun 1817-1819. (Heidorn, http://www.islandnet.com/~see/weather/history/1816.htm,
02-01-2005)
Sebuah artikel lain yang ditulis
oleh Kihm Winship,
Skaneateles' [kota
18 mil di barat daya New York] cold summer of 1816 had begun a year earlier, in
Indonesia, on the remote island of Sumbawa. On April 10, 1815, Mount Tambora, a
volcano 13,000 feet high, erupted and sent 12 cubic miles of rock into the sky
taking 4,000 feet off the top of the mountain, leaving a crater three miles
wide... The plume of volcanic dust rose 25 miles into the atmosphere, and
slowly ringed the globe, shrouding and chilling as it went. In China and Tibet,
cold weather killed trees, rice, even water buffalo. In Great Britain and
Europe, cold and eight weeks of nonstop rain led to crop failure, famine and an
epidemic of typhus. And in the northeastern U.S., where the seasons
"turned backwards," the residents of Skaneateles ate roots and berries,
and prayed for warmer weather. (KihmWinship, http://home.earthlink.net/~ggghostie/coldsummer.html.,
30-03-2004)
Tambora dalam cerita rakyat dan
sastra
Letusan
gunung Tambora ternyata telah memberikan inspirasi yang melahirkan
cerita-cerita rakyat (folklore) setempat (Zolinger, 1850: 149;
Chambert-Loir, ed. 1982:186-188; Helius Sjamsuddin,
1985, XII, 5: 52-54) dan cerita-cerita horor seperti “Vampire” dan
“Frankenstein” dalam sastra dunia. (Anthony Tully http://www.indodigest.com,30-04-2004). Dalam versi Roorda van Eysinga, cerita
rakyat menyebut tentang seorang Arab, Said Idrus, yang mampir berniaga di
kerajaan Tambora. Ketika akan sholat di mesjid, ia melihat seekor anjing masuk
sehingga ia menyuruh penjaga mengusirnya karena yang memasukkan anjing ke
mesjid itu kafir. Rupanya anjing itu kepunyaan raja. Karena ada yang melaporkan
kepada raja dengan sebutan kafir, sang raja murka. Ia menyuruh tangkap dan sembelih anjing itu bersama-sama
dengan seekor kambing. Said Idrus diundang dalam suatu perhelatan dan kepada
Said Idrus disajikan makanan daging anjing, sedangkan tamu-tamu lain daging
kambing. Ketika raja akhirnya memberitahukannya bahwa daging yang disantapnya
itu daging anjing, dan menurut Said Idrus itu haram, keduanya berbantah. Raja
semakin murka dan memerintahkan hamba-hambanya membunuh Said Idrus di puncak
Tambora. Konon karena itu, menurut kepercayaan rakyat, Allah SWT menjadi murka
dan sebagai hukuman kepada raja bersama rakyatnya meletuslah gunungTambora.
Versi lain yang saya peroleh, nama orang Arab
itu bukan Said Idrus melainkan Sekh Muhamad Saleh. Sekh itu datang ke kerajaan
Tambora untuk menyiarkan agama Islam (memang agak anakronis karena Tambora
sudah lama memeluk Islam bersama kerajaan-kerajaan lainnya di pulau Sumbawa).
Selanjutnya cerita hampir sama, sang
sekh disuguhi daging anjing oleh sang raja. Karena sekh ikut marah, raja
memerintahkan membunuh dan membakar mayatnya. Abunya dibuang ke sebuah
teluk yang sekarang memperoleh nama
Teluk Saleh. (Helius Sjamsuddin, 1985, XII, 5: 52-54).
Ternyata dalam sastra dunia cuaca yang disebabkan oleh
letusan Tambora itu memberikan ilham. Anthony Tully mencatat:
The eruption of Tambora even had a less well-known, but not
insignificant impact on literature. In the summer of 1816, the nineteen-year
old writer Mary Godwin (soon to be Shelley) was staying at Lake Geneva at that
time having previously eloped with future-husband Percy Shelley, and they were
now with no less a luminary than Lord Byron and his physician John Polidori. In
the past, Voltaire and Rousseau had come to these shores, and the region was
widely regarded (and would be later, with Carl Jung) as a sacred place where
enlightenment would come to those who seek it.
To the perplexed group at that time, the previously beautiful weather turned
tumultous and stormy in June. They did not learn of it till later, but they
were experiencing the effects of mighty Mt. Tambora's historic eruption on the
other side of the world. On June 16th, 1816 the group was prevented from
returning to town from their lakeside villa by a powerful storm. Such weather
in June was unheard of, and the entourage took to reading German ghost stories,
and inspired, Byron challenged each member to come up with one of their own. In
response, John Polidori commenced the Vampyre, the first modern vampire story.
The others wrote some forgettable breifs. However, five days later, with the bizarre
lightning streaked summer nights continuing, Mary was inspired by a discussion
of whether a corpse could be animated by science. That night she had a
"waking nightmare" and the next morning, she began to write her story
inspired from it. The work was completed in the following year, and became
known to the world as ….Frankenstein. Realizing the volcanic-induced haywire
weather of that June was unique, she changed her season for her tale and wrote
"it was on a dreary night in November…." Hence, behind each depiction
of the birth of Frakenstein's monster there lies just a little bit of the real
pyrotechnic awe and terror of the eruption of Tambora! (http://www.indodigest.com,30-04-2004).
Penutup
Bacaan:
Buku,
Jurnal.
Burke,
Peter, ed. New Perspective on Historical Writing. Oxford: Polity Press. 1991.
Chambert-Loir,
Henri. Syair Kerajaan Bima. Jakarta-Bandung: EFEO. 1982, hlm. 186-188.
Corpus
Diplomaticum Neerlando-Indicum. 1650-1675 (Uitgegeven toegelicht door
Mr.J.E. Heeres, ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1931); 1676-1691 (Uitgegeven
door Mr.J.E. Heeres, toegelicht door Dr. F.W. Stapel, ‘s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 1934; 1691-1725 (door Dr. F.W. Stapel, ‘s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 1935); 1726-1752 (, Dr. F.W. Stapel, ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff,
1938, Vijfde Deel); 1753-1799 (Dr. F.W. Stapel, ‘s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 1955, Zesde Deel).
Djoened
Poesponegoro, Marwati & Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia,
II, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984.
Lekkerkerker, C. “Enkele nieuwe gegevens over
Soembawa,” Tijdschrift van Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig
Genootschap (TNAG). 1933.
Mededeelingen
van de Afdeeling Bestuurs-zaken der Buitengewesten van het Departement van
Binnenlandsch Bestuur. Serie A No.3. Overeenkomsten met de Zelfbesturen in
de Buitengewesten. Handelingen der Staten-Generaal (1913-1914, Bijlage).
Weltevreden: Landsdrukkerij. 1929.
R.
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, 2, Yogyakarta:
Penerbit Yayasan Kanisius, 1984
Raffles,
Th. S. “Narrative of the Effects of the Eruption from the Tomboro
Mountain, In the Island of Sumbawa, on the 11th and 12th
of April 1815.” Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap, der
Kunsten en Wetsenshappen. (VBG). VIII Deel. 1816.
Sjamsuddin,
Helius. “Tambora.” Terang Bulan. Th.XII. No.5 Maret, 1985, hlm. 52-54.
Zollinger, H. “Verslag van eene reis naar Bima en
Soembawa, en naar eenige plaatsen op Celebes, saleijer en Floris, gedurende de
maanden Mei tot December 1847,” Verhandelingen van het Bataviaasch
Genootschap. 1850.
Internet
Newhall and
Daniel Dzurisin, 1988, “DESCRIPTION:
Tambora Volcano, Indonesia”. USGS. Historical Unrest at Large
Calderas of the World: U. S. Geological Survey Bulletin 1855.
Tully, Anthony. ”Tambora, Indonesian Volcano (Tambora Volcano
Part I Tambora: The Year Without A Summer.” The Indonesian Digest.
http://www.indodigest.com. 29-04-2004.
Bandung, 10 Januari 2004
Helius Sjamsuddin
Komentar